Uji Hak Konstitusional, Pegiat Demokrasi Minta Mahkamah Tafsirkan Pasal UU-Pemilu Dimaknai Incumbent Dan Berkampanye Untuk Diri Sendiri



 

OPUTAYIKOOINSTITUTE.BIZ.ID - saat ini pemilu pilpres 2024 memang telah usai diselenggarakan KPU RI pada 14 Februari 2024, kita semua menyaksikan baik sebelum, pada saat dan pasca Pemilu Pilpres 2024 situasi politik tanah air yang berlangsung menimbulkan berbagai ragam kontroversi bahkan menyeret-nyeret nama presiden yang dituding melakukan pemihakan dengan dasar stigma; Rabu, (24/7/2024).

Kendati kontroversi mengenai keberpihakan presiden memang terjadi hanya di ruang-ruang pendapat setiap entitas atau kelompok. Namun yang pasti, tidaklah etis menyeret nama presiden di pentas politik dengan dasar keberpihakan. Sebab di masa yang akan datang semua ini akan menjadi coretan sejarah yang buruk bagi hukum dan demokrasi bangsa ini.

Pegiat kajian demokrasi yang di pelopori oleh putra putra terbaik bangsa yang memikirkan bangsa ini untuk arah yang lebih baik mendapatkan panggilan hati dan menjawab keresahan masyrakat. 

Dimana pegiat kajian demokrasi terdiri dari La Ode Arukun, La Ode Nofal, Arimansa eko putra dan Risard Nur Fiqral. para pegiat kajian demokrasi merasa undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum perlu di ujikan di hadapan Hakim Mahkamah konstitusi agar negara dapat mempertimbang undang-undang tersebut, agar tidak adanya cawe-cawe presiden di masa yang akan datang.


La Ode Arukun mengatakan dengan melihat ketentuan pasal 281 ayat 1 dan pasal 299 ayat (1) UU pemilu yang tidak memberikan tegaknya hak konstitusional para pemohon, maka para pemohon hadir  dihadapan yang mulia hakim mahkamah konstitusi  agar ketentuan a qou adalah inkonstitusional  dan/atau mahkamah memberikan suatu penafsiran konstitusi dengan memaknai ketentuan tersebut sebagai ketentuan yang berstatus petahana (incumbent) dan berkampanye untuk dirinya sendiri.


Berdasarkan penalaran yang wajar kami merasa mengalami kerugian secara konstitusional bahwa tidak adanya keadilan dengan yang dilakukan presiden melakukan kampanye pada salah satu calon presiden. Hal tersebut bertentangan dengan pasal 28 D ayat 1-5 UUD NRI 1945, Sebab jika Presiden dan/atau Wakil Presiden berkampanye untuk pasangan calon lain dalam Pemilu Pilpres maka akan menciptakan suasana pemilu yang tidak menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kesetaraan bagi pasangan calon lain. Padahal tugas negara dalam hal ini Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagai kepala pemerintahan adalah memastikan seluruh rakyat mendapatkan rasa keadilan dan kesetaraan.

 
Pemohon merasa akan kehilangan hak konstitusional Para Pemohon sebagaimana yang telah dijamin UUD 1945, jika Presiden dan/atau Wakil Presiden diberikan hak untuk kampanye sebagaimana dimaksud pada Pasal 281 ayat (1) dan Pasal 299 ayat (1) UU Pemilu, dimana ketentuan a quo berpotensi berdasarkan penalaran yang wajar tidak memberikan hak perlindungan dari hukum yang berkeadilan serta kesetaraan sebagaimana menjadi hak konstitusional Pemohon yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.


 


 

Hari senin, 22 juni 2024 kami telah melakukan sidang pengujian  pasal 281 ayat (1) dan pasal 299 ayat (1)  undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang  pemilihan umum terhadap undang-undang dasar republik indonesia tahun 1954, sebagaimana Satjipto Rahardjo pernah mengatakan bahwa “Hukum untuk Manusia bukan Manusia untuk Hukum.” Sebuah pandangan bahwa hukum harus bersifat progresif tidak terkekang pada ajaran legalistik semata. 

Hukum harus mampu melihat jauh ke depannya, sehingga dengan semua alasan-alasan hukum yang telah kami uraikan dalam Permohonan ini, Mahkamah Konstitusi-lah menjadi jalan terakhir kami untuk membatalkan ketentuan yang dimaksud atau memberikan sebuah penafsiran konstitusi akan maksud keberlakuan ketentuan tersebut.

“Keadilan dan kesetaraan bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, hilangnya satu hal ini dalam negara, pertanda keruntuhan sebuah bangsa”.

 

 

 



NEXT PAGES:


Post a Comment